Dunia di atas sebarel minyak

Berikut adalah pemikiran George Soros yang saya pahami berkaitan dengan bukunya The Age of Fallability: The Consequences of the War on Terror:

Suatu kebenaran sederhana yang tidak dapat dihindari adalah fakta bahwa umat manusia sedang mengalami krisis energi. Isu-isu utama berkaitan yang terlihat ialah pemanasan global, kutukan kekayaan alam (resource curse), semakin meningkatnya ketergantungan perekonomian besar dunia terhadap negara-negara dan kawasan yang secara politik tidak stabil, pasokan minyak yang tipis, dan meningkatnya ketidakstabilan politik di Timur Tengah.

Berbagai isu tersebut berkembang dengan perlahan dalam jangka waktu yang sangat lama. Pemanasan global disebabkan oleh emisi gas-gas karbon yang dimulai lebih dari seabad yang silam. Kutukan kekayaan alam telah dimulai semenjak jaman kolonial dan merupakan salah satu kontributor utama ketidakstabilan Timur Tengah. Produksi minyak di Amerika Serikat mencapai puncaknya puluhan tahun yang lalu, tepatnya 1971. Menurut teori Hubbert, produksi minyak dunia juga akan mengalami hal serupa.

Berbagai komponen di atas bergabung dan bekerja sama setelah serangan 11 September 2001. Kalau kita menyadarinya, berbagai perkembangan selanjutnya memiliki benang merah yang sama: perang melawan terorisme, invasi Iraq, naiknya Iran, radikalisasi Islam dan ketegangan antar sekte di dalamnya, surutnya pamor dan pengaruh Amerika Serikat, berkembanganya pemakaian teknologi nuklir, pencarian sumber daya alam oleh China beserta efek negatifnya terhadap kutukan kekayaan alam, dan penggunaan pasokan gas oleh Rusia untuk menekan negara-negara bekas Uni Soviet yang bisa membahayakan Eropa.

Inti dari semua krisis tersebut adalah tipisnya pasokan minyak. Sebab dari tipisnya pasokan tersebut sebagian tidak bersiklus/sekular (secular) dan sebagian lagi bersiklus (cyclical). Faktor sekularnya adalah fakta bahwa konsumsi minyak selalu melebihi temuan minyak baru. Tahun 2004, 30 milyar barel dikonsumsi tapi hanya 8 milyar barel yang ditemukan. Tingkat kelebihan kapasitas minyak telah turun dari 12 juta barel per hari pada tahun 1998 menjadi kurang dari 2 juta barel sekarang. Permintaan minyak kuat sebagian karena tumbuhnya China, India, dan negara-negara berkembang lainnya. Akan tetapi, sebagian besar fluktuasi harga minyak dalam jangka pendek disebabkan oleh faktor-faktor bersiklus.

Selain tipisnya pasokan minyak mentah, juga terdapat kekurangan kapasitas penyulingan (refinery). Pasokan gas alam masih jauh dari puncaknya tetapi terdapat kekurangan dalam hal transportasinya. Kekurangan-kekurangan sementara tersebut akan ditutupi pada saatnya nanti. Bahkan, biasanya kekurangan pasokan akan selalu diikuti oleh kelebihan pasokan sementara.

Kelebihan tersebut tentu saja akan menurunkan harga minyak. OPEC akan mengatasi penurunan harga minyak tersebut dengan membatasi pasokan yang akan menciptakan kapasitas ekstra yang diperlukan untuk menghindari hambatan pasokan di masa depan. Akan tetapi, komponen lain (selain tipisnya pasokan minyak) dari krisis energi global akan tetap ada. Kelebihan pasokan sementara tersebut kemungkinan akan mengurangi kemauan politik untuk mengatasi krisis energi. Hal itulah (hilangnya kemauan politik) yang terjadi setelah krisis energi pertama tahun 1970an. Kemungkinan akan terulang lagi.

Berbagai komponen krisis energi global akan lebih mudah diatasi bila hubungan antar komponen tersebut dikenali. Sebagai contoh: menghasilkan energi bebas karbon dari batubara. Jika teknologi yang efisien tercipta, hal ini akan (a) memberikan kontribusi besar dalam menurunkan pemanasan global, (b) menurunkan ketergantungan AS dan China terhadap impor energi karena keduanya memiliki cadangan batubara yang amat besar, dan (c) merupakan jawaban sementara terhadap teori Hubert tentang memuncaknya pasokan minyak dunia. Hanya satu dari ketiga akibat tersebut mungkin tidak akan cukup untuk mencari dukungan pemanfaatan batubara bebas karbon. Akan tetapi ketiga (a,b,c) faktor tersebut digabungkan akan menjadi faktor pendorong yang kuat untuk menjadikan pemanfaatan batubara bebas karbon sebagai prioritas solusi krisis energi dunia. Saat ini, teknologi yang ada belum efisien sehingga investasi di teknologi baru masih diperlukan.

Tidak ada satupun solusi yang cukup. Berbagai langkah perlu diambil: selain batubara bebas karbon, diperlukan energi nuklir, angin, biomas, dan tentu saja penurunan permintaan energi. Di sinilah mekanisme pasar bisa berguna: pajak emisi karbon dan kredit karbon akan memberikan insentif ekonomi untuk memunculkan perubahan tipe konsumsi energi.

Meskipun masalah inti dari krisis energi adalah tipisnya pasokan minyak, perkembangan yang memungkinkan kekacauan/disintegrasi terutama adalah faktor politik. Krisis energi global bisa dilihat sebagai sisi lain globalisasi. Bagaimana krisis ini akan membahayakan peradaban manusia tergantung dari bagaimana kita menyikapinya.

Pasar keuangan sering tersandung dan bangkit kembali. Sangat jarang pasar keuangan lebih dari tersandung dan jatuh tersungkur seperti krisis keuangan Asia tahun 1997. Meskipun begitu, otoritas keuangan bisa bertindak setiap kali sistem keuangan global terancam.

Sayangnya, sistem politik dunia tidak setangguh sistem keuangan dalam hal menghindari bahaya. Kita telah mengalami 2 kali perang dunia dan beberapa insiden untuk yang ketiga. Ancaman perang nuklir tidak boleh dianggap remeh. Peradaban kita digerakkan oleh energi; krisis energi bisa menghancurkan peradaban manusia.

Besarnya permasalahan ini melebihi kapasitas kita untuk memahaminya. Kita tidak bisa menghilangkan salah pemahaman yang telah terjadi, tetapi kita bisa membenarkannya. Hal ini sangat penting terutama untuk AS yang sepertinya merasa bisa mengatasi masalah ini sendiri. Tatanan dunia bukanlah seperti suatu ekosistem atau suatu pasar di mana berbagai masalah akan terselesaikan dengan sendirinya.

To be continued…

Pos ini dipublikasikan di GEOPOLITIK. Tandai permalink.

12 Balasan ke Dunia di atas sebarel minyak

  1. priandoyo berkata:

    Jadi Mas bahar, sampeyan bisa memprediksi engga kira-kira perang dunia III terjadi tahun berapa?
    *agak ga nyambung

  2. edratna berkata:

    Intinya adalah, jika dunia tak belajar mencari alternatif-alternatif tentang energi, suatu ketika akan terjadi gap yang besar antara pasokan minyak dunia dan yang membutuhkan.

    Di satu sisi, pasar finansial juga bergerak cepat, bahkan kadang melebihi kemampuan sektor riil. Pertanyaannya, mengapa sektor riil tak bisa jalan cepat? Karena permasalahannya tidak semudah membalik telapak tangan.

    Padahal Bahar, yang dulu saya pelajari (dan ternyata sekarang terbalik), jika negara dalam kondisi yang stabil (ekonomi baik, masyarakat kecukupan /tingkat ekonominya bagus) maka dapat dilihat dari pasar keuangannya yang bergairah. Tapi di Indonesia, akhir2 ini pasar keuangan bergairah, tapi emiten baru yang menjual sahamnya nggak meningkat pesat…karena mungkin masih bingung tambahan dana untuk diapakan (mis untuk meningkatkan kapasitas produksi), karena sektor riil belum mendukung….hmm jadi makin banyak yang harus diperhitungkan ya. Jadi teori, setiap kali akan selalu berubah dengan ditemukannya teori/fakta baru.

  3. ihedge berkata:

    @Priandoyo: Itu bagaikan memprediksi kapan pasar akan crash, atau memprediksi kapan badai akan datang. Faktor yang bermain dinamis. No one knows, sampai detik-detik terakhir. Kalau aku asal sebut 1 angka sekarang: kalau benar itu kebetulan. 😀

    @Bu Edratna: Di Indonesia, minat untuk menjadi perusahaan publik belum banyak mungkin karena (1) insentif secara keuangan juga belum berarti (sedangkan menjadi perusahaan publik juga perlu biaya yang tidak sedikit untuk laporan keuangan dsb.), (2) belum mau transparan tentang total pendapatan <hubungannya dengan pajak>, (3) mungkin belum banyak pengusaha yang serius memperhitungkan alternatif penggalangan dana dari IPO. Sepertinya sebentar lagi pemerintah akan mengeluarkan kebijakan insentif pasar modal. Saya rasa akan membantu.

  4. Ping balik: Mengenal Hedge Funds Biodiesel: Potensi Indonesia «

  5. Poltak Hotradero berkata:

    Manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar mengalami krisis energi. Krisis energi hanyalah semata-mata ilusi.

    Yang dianggap sebagai “krisis” sebenarnya hanyalah masalah pemanfaatan energi yang tidak terdiversifikasi. Terlalu tergantung pada energi berbasis karbon (minyak, batu bara, gas alam, dll.).

    Dan bila diteliti lebih jauh, energi berbasis karbon ini semuanya juga bersumber dari energi matahari, jadi selama matahari masih bersinar — sebenarnya kita tidak pernah mengalami krisis energi. Itu sebabnya saya menyebut “krisis energi” semata-mata sebagai illusi.

    Bagaimana agar terjadi diversifikasi sumber energi? Kita memerlukan realokasi kapital beserta dengan kebijakan (policy) yang mendukung diversifikasi sumber energi.

    Realokasi kapital hanya bisa terjadi bila telah terjadi gabungan antara insentif dan disinsentif. Insentif yang paling utama adalah harga (harga energi karbon tinggi – sementara non-karbon rendah), sehingga terjadi akselerasi demand atas energi non-karbon – yang bila telah mencapai titik kritis tertentu — akan mendorong alokasi modal yang lebih besar dan lebih kompetitif dalam mendanai energi non-karbon.

    Pendek kata: harga minyak yang tinggi itu memang perlu… supaya manusia bisa lepas dari kecanduan minyak. Semakin tinggi – semakin bagus — karena akan semakin mempercepat “disapih”-nya manusia dari sumber energi karbon — dan agar energi non-karbon tidak lagi jadi anak tiri.

  6. ihedge berkata:

    Salam kenal Bang Poltak,

    Setuju kalau saat ini pemanfaatan energi jauh lebih banyak dari sumber yang berbasis karbon. Terutama karena memang lebih murah.

    Manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar mengalami krisis energi. Krisis energi hanyalah semata-mata ilusi. Yang dianggap sebagai “krisis” sebenarnya hanyalah masalah pemanfaatan energi yang tidak terdiversifikasi. Terlalu tergantung pada energi berbasis karbon (minyak, batu bara, gas alam, dll.). Dan bila diteliti lebih jauh, energi berbasis karbon ini semuanya juga bersumber dari energi matahari, jadi selama matahari masih bersinar — sebenarnya kita tidak pernah mengalami krisis energi. Itu sebabnya saya menyebut “krisis energi” semata-mata sebagai illusi.

    Yang ini saya kurang setuju Bang.

    walaupun sumber energi karbon dulunya bersumber dari energi matahari, namun energi tersebut tertampung/terperangkap dalam bentuknya yang sekarang baik itu minyak, gas, atau batubara. Apa yang terjadi sekarang adalah pengurasan dari energi yang tertampung jutaan tahun yang lalu. Argumen bahwa selama matahari masih bersinar maka akan aman-aman saja tergantung pada kondisi bila proses penampungan energi sekarang lebih besar daripada proses pemakaian hasil tampungan dahulu kala.
    Sumber energi seperti energi nuklir sebenarnya bukan berasal dari sinar matahari, tapi dari materi itu sendiri. Belum lagi energi panas bumi (yang sudah ada semenjak terbentuknya bumi). Kalau kita memasukan energi nuklir ini, tentu besar sekali sebenarnya energi yang ada di bumi ini. Cuma pertanyaannya adalah bagaimana mengolahnya dan mengantarkannya kepada konsumen secara ekonomis.

    Kondisi krisis energi yang dimaksud di sini bukan berarti kecilnya energi yang ada di bumi ini (dan yang bertambah dari sinar matahari), tapi dari mismatch dari jumlah energi yang biasa dikonsumsi dan jumlah energi yang tersedia dengan harga wajar. Proses penambahan pasokan energi tidak bisa langsung dan membutuhkan delay yang lama (misalnya pembangunan reaktor nuklir, pembangunan PLTA, dsb).

    Bagaimana agar terjadi diversifikasi sumber energi? Kita memerlukan realokasi kapital beserta dengan kebijakan (policy) yang mendukung diversifikasi sumber energi. Realokasi kapital hanya bisa terjadi bila telah terjadi gabungan antara insentif dan disinsentif. Insentif yang paling utama adalah harga (harga energi karbon tinggi – sementara non-karbon rendah), sehingga terjadi akselerasi demand atas energi non-karbon – yang bila telah mencapai titik kritis tertentu — akan mendorong alokasi modal yang lebih besar dan lebih kompetitif dalam mendanai energi non-karbon.

    Setuju Bang!

  7. fau berkata:

    Ikutan sedikit.
    “… namun energi tersebut tertampung/terperangkap dalam bentuknya yang sekarang baik itu minyak, gas, atau batubara. Apa yang terjadi sekarang adalah pengurasan dari energi yang tertampung jutaan tahun yang lalu. Argumen bahwa selama matahari masih bersinar maka akan aman-aman saja tergantung pada kondisi bila proses penampungan energi sekarang lebih besar daripada proses pemakaian hasil tampungan dahulu kala.”

    saya jadi ingat, waktu suami saya di BP Tokyo, dia cerita kalau geoscientists di USSR (Russia-Ukrainia) men-challenge adagium “hydrocarbons are fossil fuels”. Karena katanya puluhan reservoir di USSR ada di daerah2 yang secara historis geologis bukan daerah jebakan minyak. Jadi ada 2 teori asal muasal hydrocarbon: fossil vs. abiotic, dianut oleh (kebanyakan) geoscientists amerika vs sovyet.

    Tapi saya tidak mengikuti lebih lanjut isu ini. Ini salah satu linknya: http://www.csun.edu/~vcgeo005/Energy.html

    *ex-geophysicist*

  8. ihedge berkata:

    makasih bu atas informasinya (apalagi dari seorang ex-geophysicist).

    Terus terang saya baru dengar sebuah teori bahwa petroleum adalah materi primordial yang bersumber dari dalam bumi. Kalau begitu jadi seperti energi nuklir donk: cadangannya sebesar materi yang sudah ada sejak terbentuknya bumi (dalam hal ini uranium).

    Kalau teorinya benar, berarti semakin banyak dipakai semakin berkurang cadangannya. Dan supply energi kepada konsumen tergantung dari teknologi eksplorasi & eksploitasi (dan tentu ke-ekonomis-an teknologi tsb)!

    Menarik.

  9. fau berkata:

    Mas Bahar,
    saya sendiri yang dulu kuliah di bidang itu juga baru dengar teori itu (atau dulu pas dosen saya nerangin, saya lagi permisi ke toilet ya?) 😀

    Kalau misalnya teori itu benar, maka seperti yang Mas Bahar bilang: cadangan itu jumlahnya tetap. Tetapi kalo kita “optimis” (ehm…) dan menganggap kedua teori itu benar, maka berita “gembiranya” kita punya tambahan hydrocarbon resources: yg dari fosil dan abiotic. Konsekuensinya: makin boros energi.. hehehe…

    Kadang saya mikir, bumi umurnya sampai kapan ya? Kalau kita assume bahwa tidak ada kiamat *smile* maka gawatlah kehidupan di masa depan. Sumber energi yang menipis, polusi, pencairan kutub, ozon bolong2, hutang pemerintah2 yang di roll-over sudah membengkak, public pension funds yang makin menipis, financial market crash berkali2, penduduk yang tidak seimbang, dst… atau mungkin saat itu kita sudah sukses membangun apartemen di Mars? :p —> menunjukkan keterbatasan akal saya.. hehehe… sorry ini OOT.

    Anyway, jangan langsung percaya bualan saya, namanya juga EX-geophysicist… 🙂

  10. Poltak Hotradero berkata:

    Ya memang kita seperti “menguras tabungan jutaan tahun” – kalau memandang bahwa minyak, batu bara, dan gas adalah sebenarnya cadangan “biofuel” masa lalu.

    Tetapi di sisi lain, biotech dan nanotech – sebenarnya memungkinkan kita melakukan akselerasi proses akumulasi jutaan tahun tersebut menjadi jauh lebih cepat menggunakan stock yang ada sekarang.

    Nanotech memiliki efisiensi sangat tinggi – sementara biotech memiliki kemampuan proliferasi sangaat tinggi. Bisa kita bayangkan apa yang bisa dicapai lewat gabungan keduanya. Kenapa harus menunggu jutaan tahun?

    Illustrasi pembandingnya adalah produk bernama semen — yang di mata saya tidak lebih dari “teknologi membuat batu secara instant”. Alam memerlukan waktu jutaan tahun untuk membuat batu yang terserak dan berbentuk secara random. Manusia dengan teknologinya, bisa melebur dan “memindahkan” batu-batu tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya sesuka mereka – dan membentuk “batu” tersebut sesuai kebutuhan (jembatan, jalan, bangunan, dll.)

  11. ihedge berkata:

    @fau: sulit bagi manusia untuk bisa mempredikisi terlalu jauh ke masa depan. Makanya waktu mas Anjar menanyakan kapan perang dunia ke tiga, saya bilang “Nggak tahu”. Karena memang saya nggak tahu.

    @Poltak: menarik juga teknologi biotech dan nanotech itu. Kalau benar-benar bisa mempercepat proses “jutaan tahun” menjadi …. “singkat” (sebarapa singkat Bang?) (assuming kalau sumber energi yang dipakai sekarang terbentuk oleh proses jutaan tahun). Untuk sementara, kita masih perlu melihat masalah dengan teknologi yang ada.

  12. arik berkata:

    mas, saya ijin mengutip pemikiran diatas sebagai wawasan.terimakasih-arik

Tinggalkan komentar