Biodiesel: Potensi Indonesia

Dua hari terakhir saya mengikuti konferensi perkembangan pasar derivatif, terutama Asia Pasifik. Topik yang dibahas cukup luas: dari derivatif yang berdasarkan saham, surat utang, properti, komoditas, sampai kredit karbon. Berbagai aplikasi nyata penggunaan derivatif sebagai alat untuk membantu perusahaan dalam mengelola berbagai macam resiko juga dibahas. Peserta datang dari Singapura, Jepang, India, China, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, bahkan Mesir! Tapi saya tidak melihat delegasi dari Indonesia.

Yang ingin saya sampaikan di sini lebih fokus tentang pembahasan Biodiesel (diesel yang dihasilkan dari tanaman) dan Kredit Karbon karena potensi Indonesia di dua bidang itu cukup besar.


Biodiesel dianggap sebagai salah satu sumber energi baru yang cukup menjanjikan. Sang pembawa seminar, Mr Roland Jansen yang ramah – Chief Investment Officer dari Mother Earth Asset Management, bercerita dengan antusias kondisi supply dan demand yang mempengaruhi biodiesel di dunia. Btw, Mr Jansen ini ternyata orang Belanda yang suka makan pisang goreng, ayam goreng, dan krupuk! Senang berbincang-bincang dengannya.

Telah ditulis di sini bahwa umat manusia sedang menghadapi tipisnya pasokan energi relatif terhadap permintaannya. Dari segi permintaan energi, faktor pendukungnya antara lain pesatnya tingkat industrialisasi negara berkembang seperti China dan India serta sinkron-nya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju. Dari segi pasokan energi, tingkat penemuan sumber energi baru cukup terbatas.

Salah satu sumber energi alternatif yg cukup menjanjikan adalah biodiesel. Salah satu sumber biodiesel yang dibahas adalah jatropha. Jatropha tumbuh di daerah ekuator seperti Indonesia, tidak memerlukan banyak air sehingga bisa tumbuh di padang rumput yang sekarang tidak diberdayakan, energi yang bisa dihasilkan per hektar nya lebih baik daripada minyak dari soya misalnya, buah jatropha sendiri tidak dikonsumsi manusia, dan yang penting tidak perlu alat penyulingan yang canggih untuk mendapat minyak jatropa sehingga petani kecilpun bisa menghasilkannya. Sangat cocok untuk memberdayakan tanah-tanah tidak produktif di Indonesia (mungkin terutama daerah Nusa Tenggara) tanpa perlu menebang hutan. Selain itu kemungkinan besar manfaatnya bagi petani kecil juga bisa terasa.

Menurut Mr Jansen, jika 25% lahan di Afrika (di mana banyak daerah tidak diberdayakan karena kekurangan air) dipakai untuk menanam jatropha, maka minyak yang dihasilkan bisa memenuhi seluruh kebutuhan energi AS!

Saat ini, di Eropa sudah ada mobil-mobil yang memakai mesin berdarkan biodiesel. Coba bayangkan bila suatu saat nanti harganya murah sehingga banyak mobil-mobil di Indonesia berbahan bakar minyak jatropha. Petani-petani bisa menjual minyaknya di pinggir jalan!

Pos ini dipublikasikan di INDONESIA. Tandai permalink.

19 Balasan ke Biodiesel: Potensi Indonesia

  1. edratna berkata:

    Buah Jatropha itu nama Latin? Bahasa Indonesianya buah jarak bukan? Karena BPPT juga lagi menggalakkan penanaman pohon jarak, karena minyaknya bisa jadi sumber energi.

    Dikampungku dulu, pohon jarak, pohon kemlandingan, beluntas,diseling dengan pohon turi, digunakan sebagai bahan pagar hidup…sayangnya, orang sekarang lebih suka pagar dari besi dan tembok, yang menurutnya lebih keren dan aman. Padahal pagar tanaman membuat lebih hijau, dan untuk aman, bisa diikat dengan kawat.

  2. ihedge berkata:

    oh iya bu, baru ingat kalau bahasa Indonesianya adalah buah jarak. Semalem nyoba mengingat-ingat tapi gagal. Hehehe…

    Tentang pagar, saya juga lebih suka liat pagar hijau. Lebih nyaman buat mata.

  3. Nugie berkata:

    Saya denger pemerintah emang akan/sedang (saya lupa) program penanaman pohon jarak. Tapi langsung dapat reaksi dari para aktivis greenpeace. Kata mereka kalo program itu dilaksanakan lahan yang diambil adalah lahan pertanian/perkebunan atau harus membuka lahan baru.

    Menurut anda?

  4. ihedge berkata:

    Justru hebatnya pohon jarak ini adalah bisa tumbuh di lahan kering yang tidak bisa ditumbuhi tanaman pangan. Kalau di lahan seperti ini, jelas alasan aktivis tsb gak masuk akal.

    Kalau petani suatu saat nanti bisa mendapat hasil lebih banyak dari menanam jarak daripada menanam jagung misalnya, kenapa gak boleh? Kan yang untung petani juga. Lagian kan tanahnya milik mereka.

    Kalau membuka lahan baru, nah ini yang lebih bermasalah. Lama-lama hutan kita bisa habis.

  5. somosentono berkata:

    Betul Mas Bahar, potensi jatropha memang luar biasa, political will pemerintah juga lumayan. Beberapa tempat di Indonesia sudah mengembangkannya, cuma masih parsial.

    Jatropha ini cocok untuk lahan marginal yang miskin hara, jadi sebenarnya gak perlu khawatir menggusur perkebunan, pertanian or kehutanan.

    Mungkin yang jadi masalah adalah sosialisasi/kampanye dan IPTEK kita yang belum terlalu maksimal. Sepertinya juga, scientist dunia gak terlalu tertarik mengembangkannya, mungkin karena benefitnya nanti lebih banyak ke negara berkembang. Padahal tahu sendiri, scientist hebat gudangnya di negara2 maju.

    Kalau Jatropha bisa booming, kayaknya negara2 Arab bakalan jatuh miskin deh, komoditi minyaknya dapet saingan. Engineer Oil bakalan kalah sama Agronomer.
    Mudah-mudahan deh. Kapan lagi petani kita bakalan makmur kalo gak ada peluang kayak gini? Maklum, lulusan IPB, ada rasa bersalah juga liat petani kita miskin2.

  6. somosentono berkata:

    Oh iya, kalau Kredit Karbon gambarannya seperti apa?

  7. ihedge berkata:

    nanti saya tulis artikel singkat tentang Kredit Karbon yang dibahas di konferensi kemaren.

  8. pelantjong maja berkata:

    @ihedge: “Kalau petani suatu saat nanti bisa mendapat hasil lebih banyak dari menanam jarak daripada menanam jagung misalnya, kenapa gak boleh? … Lagian kan tanahnya milik mereka.”

    membicarakan tanah tidak semudah itu. kepemilikan tanah petani di Indonesia dalam kenyataannya semakin berkurang. misalnya di jawa tengah saja sekitar 0.3 ha/KK. bagaimana bisa mengusahakan jarak pagar sementara mereka juga bergantung pada tanah yang sama untuk mencukupi kebutuhan pangan? saya sepakat dengan kebijakan alternatif energi tetapi jangan sampai menjadi trade off dengan pemenuhan kebutuhan makanan yang lebih penting. selain itu konflik lahan antara pengusaha dan masyarakat adat bahwa kebuasan modal mampu mengusir orang dari ikatan sosial dengan tanahnya.

  9. ihedge berkata:

    tentunya sang petani sudah memperhitungkan untung ruginya menanam jarak atau menanam tanaman pangan, kan tidak ada yang memaksa – terlepas dari seberapa besar lahan yang dimilikinya. Kalau memang dengan lahan yang sempit tidak menguntungkan untuk menanam jarak, yo ndak usah menanam jarak toh.

    Mas Pelantjong membuat asumsi mendasar di mana tanaman pangan lebih penting buat petani daripada tanam sumber alternatif energi. Kenapa mesti begitu? Saya percaya petani harus diberi kebebasan menanam sesuai keinginannya.

    Maksudnya kebuasan modal mampu mengusir ikatan sosial antara masyarakat adat dengan tanahnya gimana Mas? Tolong dijelaskan Mas, mungkin Mas Pelantjong pernah terlibat di dalamnya?

    Peace.

  10. ade berkata:

    “Menurut Mr Jansen, jika 25% lahan di Afrika (di mana banyak daerah tidak diberdayakan karena kekurangan air) dipakai untuk menanam jatropha, maka minyak yang dihasilkan bisa memenuhi seluruh kebutuhan energi AS!”

    Sayangnya Afrika penuh huru-hara (bukan hura-hura)… perang, AIDS, penyakit2… siapa yang mau invest di sana?

  11. rindjani berkata:

    Setuju dengan mas pelantjong! Masalahnya nggak semudah itu. Dampak ekonomis, sosial dan kulturalnya juga harus disosialisasikan kepada para petani dan juga kepada seluaruh masyarakat. Kalau semua petani berbondong-bondong menanam jarak pagar, bangsa kita mau dikasih makan apa? Daun jarak?
    Dan lahan juga akan menjadi masalah besar: Pemodal tidak akan berberat hati menghalalkan segala cara untuk mengambil alih tanah petani atau membuka lahan hutan untuk perkebunan jarak, dan para birokrat juga tidak akan berberat hati untuk menyetujui semua perijinan, toh untuk “kepentingan nasional”. Hitung saja, berapa luas lahan hutan tercinta yang sudah menjadi korban demi perkebunan kelapa sawit yang nilai ekspornya lumayan menggiurkan? Energi alternatif itu perlu, tapi penanganannya harus benar-benar dipikirkan dengan matang. Di tanah air kita, air tidak hanya berarti air, bisa limbah pabrik, bisa senyawa kimia. Udara tidak hanya sekedar udara, tapi juga bermiliar-miliar ton karbondioksida.

  12. jif berkata:

    tlg jlsin proses kimia jatropha jadi biodiesel?????

  13. macanang berkata:

    Selain biodiesel dari jarak, ada juga yang dari minyak sawit (selain dibikin minyak goreng)

  14. bintang berkata:

    Sebenarnya, kalau pernyataan di atas benar bahwa buah jarak bisa hidup di daerah kering. Saya beranggapan menanamnya di daerah kering seperti nusa tenggara dan mungkin pulau2 kecil di sekitarnya bisa sangat membantu perekonomian negara kita. Kita tahu nusa tenggara daerahnya kering, susah ditanami, dan penduduknya banyak kesulitan ekonomi. Tapi kalo pemasukan daerah mereka meningkat ini akan mengakibatkan pemerataan ekonomi. Hasilnya, negara kita bisa maju! yang penting asal gak kedaluan riset dari negara asing. Kadang2 aktivis mereka suka protes, padahal isinya polotik. Mereka gak mau negara berkembang jadi maju. Mereka maunya kita yang konsumsi barang2 mereka. Makanya kita sering dikibulin. Maju Indonesia, Saatnya buka mata!

  15. Budi Susilo berkata:

    dear semua……
    saya sangat setuju sekali dengan diskripsi mengenai peluang bagi para petani untuk menanam tanaman untuk sumber energi alternatif. bagi para petani seperti saya ini senang sekali mendapatkan gambaran tentang tanaman tanaman yang puny aprospek bagus kedepanya. namun kasus bagi para petani adalah budi dayanya seperti apa, pemasaranya bagaimana dan kemana. saat ini saya hanya mengembangkan kelapa sawit dan kakao saja…. dan sempet terpikir untuk mengembangkan JARAK (Jatropha). namun terbentur dengan masalah pemasaranya, kalo mslh budi dayanya bisa di analisis lah….

  16. dindha berkata:

    punya makalah / penelitian tentang propspek biodiesel ato tentang biodiesel?aq lagi butuh buat tesis ni,,makasi banyak y,,

  17. FLORIANUS ASER berkata:

    dengan penuh harap mengundang investor perkebunan dan pengolahan biji jarak pagar di NT dengan lahan tersebar luas di Flores, Sumba dan Timor.
    soal kepastian lahan, kondusivitas iklim investasi dan pernerimaan masyarakat kami yang bertanggungjawab. kami nantikan feedback selanjutnya. terima kasih

    • Joseph Gae Luna berkata:

      Bung Flori,
      Masalah utama di NTT / Flores adalah mentalitas, bukan kekurangan investor. Anda pasti tahu juga cerita gagal perihal jathropa ini di NTT. Petani marah kenapa harga biji jathropa dihargai hanya Rp. 1,500.-/kg?? Maka yang harus dijual oleh petani adalah MINYAK JATHROPA, bukan biji jathropa. Minyak jathropa memiliki harga yang lebih tinggi dengan bench-mark internasional yang transparan, sulit dipermainkan oleh pedagang. Bahkan Pertamina ( dan PLN ) siap menampung berapapun qty yang tersedia dengan harga yang bagus ( hampir setara harga solar! ). Nah dengan memiliki minyak jathropa, petani akan memiliki bargaining position yang kuat.

      Nah bagaimana melakukan ini ( memberdayakan petani )? Jangan andalkan investor! PEMDA yang harus mempersiapkan semua infrastruktur: persiapan lahan, pembibitan, penanaman, panen, unit2 ekstrasi minyak. Kenapa tidak bisa? Biayanya tidak mahal kok … Itu yang saya sebut diatas sebagai kendala mentalitas … Yang dibutuhkan adalah sedikit kreativitas dan inovasi sederhana … saya punya materi jathropa ini yang bisa kita share kapan-kapan di Jakarta.

      Ok,
      Salam.

  18. vocamus.net berkata:

    Hello There. I found your blog using msn. This is a very well written article.
    I’ll be sure to bookmark it and return to read more of your useful info. Thanks for the post. I’ll certainly comeback.

Tinggalkan Balasan ke jif Batalkan balasan